UMK News - Kita hidup di sebuah zaman yang begitu gaduh. Dunia seperti dipenuhi hiruk-pikuk tanpa henti: layar gawai yang tak pernah padam, pekerjaan yang menuntut tanpa henti, serta target hidup yang seolah tak mengenal kata cukup. Dalam pusaran itu, manusia kerap terjebak dalam arus profan—kesibukan duniawi yang sekilas tampak memikat, tetapi sesungguhnya menjauhkan dari inti kehidupan. Tak sedikit orang akhirnya merasa hampa di tengah kelimpahan. Stres menggerogoti, depresi membayangi, kecemasan dan overthinking tentang masa depan pun mengikat kuat. Semua seakan kehilangan arah.

Padahal, para sufi sejak ratusan tahun lalu telah memberikan jalan: dunia hanyalah persinggahan, bukan rumah abadi. Dunia adalah ladang, bukan istana. Ia tempat menanam, bukan tujuan untuk bersemayam. Imam Al-Ghazali menyebut dunia laksana pasar. Kita datang, membeli bekal seperlunya, lalu pergi melanjutkan perjalanan. Sayangnya, banyak orang terlena di pasar itu, sibuk menawar dan menumpuk barang, hingga lupa arah jalan pulang.

Itulah jebakan profan: ketika manusia menjadikan dunia sebagai tujuan, bukan perantara menuju Allah. Rumi berkata, “Jangan biarkan dunia menenggelamkanmu. Jadilah seperti perahu di lautan; air boleh di luar, tapi jangan biarkan masuk ke dalam.” Dunia boleh berada di genggaman, tapi jangan sampai menghuni hati. Hati adalah rumah Allah; bila penuh dengan dunia, cahaya Ilahi akan meredup. Dan ketika cahaya itu padam, jiwa pun diliputi gelap, mudah dilanda kecemasan, resah menghadapi cobaan, bahkan hilang kendali ketika badai kehidupan datang.

Menenun Kebaikan

Tugas kita adalah menenun kebaikan di dunia penuh profan ini. Menenun berarti merajut helai demi helai amal menjadi kain yang indah, yang kelak bisa menyelimuti jiwa di hadapan Allah. Menenun kebaikan bukan perkara besar yang heroik semata, melainkan konsistensi dalam hal-hal sederhana: senyum yang tulus, kata yang menyejukkan, doa yang dipanjatkan, serta amal yang dilakukan dengan ikhlas.

Setiap perbuatan baik, sekecil apa pun, adalah benang yang memperkuat tenunan batin. Jika kita konsisten, kain itu akan tebal dan kuat, mampu melindungi kita dari dinginnya ujian hidup. Sebaliknya, jika kita lalai, kain itu rapuh dan berlubang, tak sanggup melindungi saat kegelapan datang menyelimuti. Ibnul Qayyim mengingatkan, “Amal saleh adalah pakaian ruh. Tanpa pakaian itu, ruh menjadi telanjang di hadapan Allah.” Karena itu, menenun kebaikan sejatinya adalah menyiapkan pakaian abadi bagi jiwa kita.

Sumber utama kecemasan manusia adalah terlalu erat menggenggam dunia. Kita takut kehilangan, takut gagal, takut tidak sesuai harapan. Padahal, semua yang ada di dunia ini hanyalah titipan. Rezeki telah ditetapkan, masa depan telah digariskan, dan setiap takdir adalah bagian dari kasih sayang Allah.

Ketika hati bertambat pada Allah, jiwa akan menemukan ketenangan. Firman-Nya yang agung menjadi peneguh: “Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28). Inilah kunci keluar dari pusaran stres, depresi, dan overthinking. Mengingat Allah bukan sekadar mengucap zikir di bibir, melainkan menghadirkan-Nya dalam setiap gerak dan niat, sehingga hidup tak lagi terasa sepi meski dunia tampak kosong.

Menata Ambisi, Merawat Pengabdian

Hidup berporos pada Allah bukan berarti meninggalkan dunia. Kita tetap bekerja, belajar, dan berusaha. Tetapi semua itu tidak kita lakukan demi pujian atau gengsi, melainkan demi ridha-Nya. Dunia boleh digenggam, tetapi jangan sampai menenggelamkan. Ambisi boleh ditumbuhkan, tetapi jangan melupakan pengabdian. Masa depan boleh direncanakan, tetapi jangan sampai menafikan kuasa Tuhan yang Maha Mengatur.

Seorang sufi berkata, “Jangan jadikan dunia di hatimu, cukup letakkan di tanganmu. Biarkan ia menjadi alat untuk berbuat kebaikan, bukan belenggu yang menjerat jiwa.” Inilah keseimbangan yang harus dijaga.

Kadang dunia terasa begitu gelap. Berita penuh kekerasan, media sosial sarat perbandingan, dan jiwa pun terhimpit oleh kabut profan. Namun kabut itu bisa ditembus dengan cahaya keyakinan. Doa yang tulus, zikir yang mendalam, amal yang ikhlas—semua itu menjadi lentera yang menuntun. Rumi berkata, “Jangan padamkan cahaya hatimu dengan kegelapan dunia. Karena dari cahaya itulah engkau akan melihat jalan pulang.” Cahaya iman tidak hanya memberi terang bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang-orang di sekitar.

Menenun kebaikan pada hakikatnya adalah menjadikan hidup sebagai persembahan. Hidup bukan sekadar perjalanan mengumpulkan pengalaman, tetapi ibadah yang kita persembahkan kepada Allah. Setiap langkah, setiap detik, setiap nafas—semua adalah bagian dari tenunan itu.

Ketika tirai dunia kelak disibakkan, yang kita bawa bukanlah harta, jabatan, atau popularitas, melainkan amal yang tulus. Semoga kain kebaikan yang kita rajut mampu menjadi selimut hangat di hadapan Allah.

Penutup

Di dunia yang penuh profan, kita diajak untuk kembali pada kesucian hati. Jangan biarkan stres, depresi, dan kecemasan menguasai, sebab semua itu lahir dari hati yang terlalu lekat pada dunia. Peganglah Allah sebagai pusat kehidupan, niscaya kita akan menemukan kedamaian sejati.

Menenun kebaikan berarti menghadirkan makna dalam hidup. Dan di balik segala kesementaraan dunia, hanya satu yang abadi: Allah, Sang Pencipta, yang selalu menanti hamba-Nya kembali dalam keadaan tenang, bersih, dan penuh cinta.

Kebaikan bukan sekadar kewajiban manusia, melainkan kebutuhan yang harus dilakukan setiap saat. Kebutuhan bermakna bahwa manusia mengharapkan kehidupan di masa mendatang hadir dalam kebaikan-kebaikan. Jika kebaikan yang diharapkan kelak, maka kita harus menanam kebaikan hari ini.

Kebaikan bukan persoalan karena orang lain baik kepada kita, melainkan jati diri yang senantiasa kita bangun. Jika kebaikan hanya diberikan ketika orang lain baik kepada kita, maka belum ada nilai tambah. Namun, ketika orang lain berbuat tidak baik kepada kita lalu kita balas dengan kebaikan, di situlah nilai tambah kehidupan hadir. Tidaklah sia-sia seseorang berbuat kebaikan, karena Allah akan menggantinya dengan kebaikan yang lain, dengan cara lain, dan melalui orang lain yang telah dipersiapkan-Nya untuk menghantarkan balasan itu. ***

Oleh: Dr. Nanan Abdul Manan, M.Pd. — Akademisi Universitas Muhammadiyah Kuningan